Artikel BLUD.id

Pentingnya Menjadi BLUD

Pentingnya Menjadi BLUD   Mengapa harus menjadi BLUD? Pertanyaan tersebut sering menjadi pertanyaan dengan jawaban yang panjang. Banyak yang mengatakan menjadi BLUD itu sulit, harus menyediakan ini dan itu, belum lagi laporannya berubah mengacu kepada SAK, dan harus menyusun RBA. Lalu di mana pentingnya menjadi BLUD?   Pentingnya menjadi BLUD akan dibahas di bawah ini: Sebagai UPT/D yang bekerja melayani masyarakat bahwa pelayanan yang utama. Contoh sebelum menjadi BLUD maka anggaran akan menunggu dari daerah dahulu, dan segala bentuk pengeluaran harus menunggu dari daerah, sedangkan setelah BLUD maka dana operasional BLUD terletak di pimpinan BLUD sebagai kuasa pengguna anggaran.   Sebelum menjadi BLUD maka per 1 Januari akan sulit untuk belanja sebab biasanya akan menunggu pencairan dari daerah, namun setelah menjadi BLUD maka per 1 Januari sudah bisa belanja dari SiLPA tahun lalu yang boleh langsung digunakan sehingga pelayanan tidak terkendala oleh anggaran.   Fleksibilitas anggaran ini akan sangat dirasakan oleh UPT/D yang melayani masyarakat. Jika sebelum BLUD harus belanja yang sesuai dengan RKA, maka setelah BLUD bisa lebih fleksibel penggunaanya berdasarkan kebutuhan.   11, dan 12 Desember tim Syncore BLUD kedatangan tamu dari Kabupaten Berau, di mana mereka akan membentuk UPT dan kemudian menjadikan BLUD. Pertanyaan mereka adalah apakah membentuk UPT dan beberapa tahun kemudian abru BLUD atau seperti apa? Pematery Bapak Rudy Suryanto menjawab sekaligus bahwa membentuk UPT dan di BLUD kan sekaligus. Alasan ini adalah untuk keamanan,s ebab BLUD memiliji jalur aman pengelolaan keuangan, apalagi UPDB ini adalah pengelolaan dana bergulir, maka BLUD lah jalan yang aman. Begitu juga jika ada yang bertanya, bahwa puskesmas belum BLUD, dan akan akreditasi, maka apakah menjadi BLUD dahulu atau akreditasi , maka jawabannya adalah menjadi BLUD dahulu sebab kebutuhan dana akreditasi sangat ebsar, jika sudah BLUD maka pengelolaan dananya akan fleksibel. Sehingga disarankan menjadi BLUD dahulu baru kemudian akreditasi. BLUD bagaiman ambulance yang memiliki jalan sendiri dan boleh menerobos lampu merah. BLUD Fleksibel dalam pengelolaan keuangannya yang berkaitan dengan pelayanan.

Badan Layanan Umum (BLU)

Pengertian Badan Layanan Umum (BLU) Dalam PP No. 25 tahun 2005 menyatakan bahwa Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Tujuan penerapan pengelolaan keuangan BLU oleh instansi di lingkungan pemerintah BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktik bisnis yang sehat. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu instansi pemerintahan untuk dapat menerapkan PPK BLU Fleksibilitas pengelolaan keuangan berarti bahwa BLU memiliki keleluasaan dalam mengelola keuangan/ barang BLU pada batas-batas tertentu yang dapat dikecualikan dari ketentuan yang berlaku umum. Sehingga agar Satuan Kerja pemerintah pusat (satker) dapat menerapkan Pengelolaan Keuangan BLU apabila memenuhi persyaratan (a) Substantif; (b) Teknis; dan (c) Administratif. Persyaratan Substantif terpenuhi apabila instansi pemerintahan yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan (a) Penyediaan barang dan/ atau jasa layanan umum; (b) Pengelolaan wilayah/ kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; (c) Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/ atau pelayanan kepada masyarakat Persyaratan Teknis apabila kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU dan kinerja keuangan satuan kerja instansi bersangkutan adalah sehat. Persyaratan Administratif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh dokumen, antara lain (a) Surat pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat; (b) Pola tata kelola; (c) Rencana strategis bisnis (d) Standar pelayanan minimal; (e) Laporan keuangan pokok atau prognosa/ proyeksi laporan keuangan dan; (f) Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen. Proses penetapan suatu pemerintah untuk menerapkan PPK BLU Menteri/ Pimpinan Lembaga/ Ketua Dewan Kawasan dapat mengusulkan Instansi pemerintah yang memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif untuk menerapkan PK BLU kepada Menteri Keuangan. Selanjutnya Menteri Keuangan akan melakukan penilan atas usulan tersebut, dan apabila telah memenuhi semua persyaratan di atas, maka Menteri Keuangan mentetapkan instansi pemerintah bersangkutan untuk menerapkan PK BLU. Menteri Keuangan memberi keputusan penetapan atau surat penolakan terhadap usulan penetapan BLU paling lambat 3 (tiga) bulan sejak dokumen persyaratan diterima secara lengkap dari Menteri/ Pimpinan Lembaga/ Ketua Dewan Kawasan. Penetapan BLU dapat berupa pemberian status BLU secara penuh atau status BLU Bertahap. Penetapan status BLU/ BLUD secara penuh diberikan apabila persyaratan substantif, teknis, dan administratif telah dipenuhi dengan memuaskan. Satker yang berstatus BLU secara penuh diberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan yaitu pengadaan pendapatan, pengelolaan belanja, pengelolaan barang dan/ atau jasa, pengelolaan barang, pengelolaan piutang, pengelolaan investasi, perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan keuangan. Sedangkan status BLU Bertahap diberikan apabila persyaratan substantif dan teknis telah terpenuhi namun persyaratan administratif belum terpenuhi secara memuaskan. Status BLU Bertahap berlaku paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diusulkan untuk menjadi BLU secara penuh. BLU bertahap diberikan fleksibilitas berkaitan dengan jumlah dana yang dapat dikelola  langsung, pengelolaan barang, pengelolaan piutang, dan perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan keuangan. Fleksibilitas tidak diberikan dalam pengelolaan investasi, pengelolaan utang, dan pengadaan barang dan/ atau jasa. Proses pencabutan status BLU PP No 23 tahun 2005 pasal 6 menjelaskan bahwa penerapan PPK BLU berakhir apabila : dicabut oleh Menteri Keuangan/ gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya; dicabut oleh Menteri Keuangan/ gubernur/ bupati/ walikota berdasarkan usul dari Menteri/ pimpinan lembaga/ kepala SKPD apabila BLU sudah tidak memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif. berubah statusnya menjadi badan hukum dengan kekayaan negara yang dipisahkan. Apabila Menteri/ gubernur/ bupati/ walikota sesuai kewenangannya, membuat pentapan pencabutan penerapan PPK-BLU atau penolakannya paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal usulan tersebut diterima. Jika melebihi jangka waktu tersebut, usulan pencabutan dianggap ditolak. Terhadap instansi pemerintah yang pernah dicabut dari status PPK BLU dapat diusulkan kembali untuk menerapkan PPK BLU.              

Pola Tarif Nasional Rumah Sakit BLU

Pola Tarif Nasional Rumah Sakit BLU. Pola tarif nasional rumah sakit badan layanan umum (BLU) yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Pola Tarif Badan Layanan Umum Rumah Sakit di Lingkungan Kementerian Kesehatan kini telah diubah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2015 tentang Pola Tarif Nasional Rumah Sakit. Permenkes tersebut juga turut mencabut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 582/Menkes/SK/VI/1997 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Pemerintah. Pola tarif nasional adalah pedoman dasar yang berlaku secara nasional dalam pengaturan dan perhitungan untuk menetapkan besaran tarif rumah sakit yang berdasarkan komponen biaya satuan (unit cost) dan dengan memperhatikan kondisi regional. Tarif rumah sakit di sini merupakan imbalan yang diterima rumah sakit atas jasa baik dari jasa kegiatan pelayanan maupun jasa dari kegiatan non pelayanan. Siapa yang menetapkan tarif ini? Tarif untuk rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah daerah yang telah menerapkan  pola pengelolaan keuangan badan layanan umum daerah (PPK-BLUD) ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dikecualikan dari itu, kepala rumah sakit atau direktur rumah sakit dapat menetapkan tarif layanan sementara untuk jenis layanan baru yang belum ditetapkan tarifnya. Tarif rumah sakit bagi masyarakat yang dijamin oleh program jaminan kesehatan nasional mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Komponen tarif dibedakan menjadi dua, yaitu komponen tarif untuk kegiatan pelayanan dan komponen tarif untuk kegiatan non pelayanan. Tarif untuk kegiatan pelayanan diperhitungkan berdasarkan komponen jasa sarana dan jasa pelayanan pada rawat jalan, rawat inap, dan rawat darurat. Perhitungan tarif masing-masing jasa pelayanan dijelaskan sebagai berikut: Tarif rawat jalan. Dibedakan menjadi dua: rawat jalan reguler dan rawat jalan non reguler. Rawat jalan reguler ditetapkan sesuai dengan titik impas sementara, rawat jalan non reguler ditetapkan lebih besar dari yang reguler. Tarif rawat inap. Dibedakan berdasarkan kelas perawatan. Kelas III ditetapkan lebih kecil dari kelas II. Kelas II ditetapkan sebesar titik impas. Selain kedua kelas itu, ditetapkan lebih besar dari kelas II. Tarif rawat darurat. Ditetapkan lebih besar dari titik impasnya. Tarif untuk kegiatan non pelayanan bagi rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah meliputi komponen jasa sarana dan/atau jasa lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tarif untuk kegiatan non pelayanan berupa pendidikan, pelatihan, dan penelitian dihitung dari total biaya pendidikan, pelatihan, dan penelitian dibagi jumlah kegiatan pendidikan, pelatihan, dan penelitian dalam satu tahun.

Sistem INA-CBGs

Sistem INA-CBGs. Dalam peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor 52 tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dijabarkan adanya empat jenis tarif: tarif kapitasi, tarif non kapitasi, tarif INA-CBGs (Indonesian-Case Based Groups), dan tarif non INA-CBGs . INA-CBGs adalah model pembayaran yang digunakan oleh BPJS Kesehatan untuk mengganti klaim yang ditagihkan oleh rumah sakit dengan menggunakan sistem paket berdasarkan penyakit yang diderita oleh pasien. Menurut Permenkes nomor 52 tahun 2016, tarif INA-CBGs adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokkan diagnosis penyakit dan prosedur. Berdasarkan atas sistem ini, rumah sakit akan mendapatkan pembayaran berdasarkan tarif INA-CBGs yang merupakan rata-rata biaya yang dihabiskan untuk satu kelompok diagnosis. Misalnya seorang pasien didiagnosa menderita penyakit tumor ringan, maka sistem INA-CBGs sudah menghitung berapa besar biaya yang dihabiskan berdasarkan layanan apa saja yang akan diterima pasien tersebut (mulai dari pengobatan hingga dinyatakan sembuh). Sementara, tarif non INA-CBGs merupakan tarif di luar tarif paket INA-CBGs untuk beberapa item pelayanan tertentu meliputi alat bantu kesehatan, obat kemoterapi, obat penyakit kronis, CAPD dan PET scan, dengan proses pengajuan klaim dilakukan secara terpisah dari tarif INA-CBGs. Sistem INA-CBGs mendorong penghitungan tarif pelayanan yang lebih objektif yang didasarkan atas biaya yang sebenarnya. Selain itu, sistem ini juga dapat meningkatkan mutu dan efisiensi rumah sakit karena meminimalisir tindakan-tindakan yang tidak perlu dilakukan terhadap pasien (prinsip cost effective). Sistem INA-CBGs ini tidak akan merugikan pihak rumah sakit karena sebagian besar tarifnya di atas standar. Untuk beberapa tarif yang di bawah standar masih dilakukan evaluasi agar didapatkan nilai yang sesuai. Pada dasarnya, sistem ini melakukan efisiensi pembiayaan dengan hasil pelayanan pengobatan yang baik. Daftar tarif INA-CBGs selengkapnya dapat dilihat di lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.  

Badan Layanan Umum dan Pengelolaan Keuangan

Badan Layanan Umum & Pengelolaan Keuangan saat ini menjadi suatu hal yang sangat terkait dalam rancah pemerintahan. BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pola Pengelolaan Keuangan BLU (Badan Layanan Umum) diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 74 Tahun 2012. Atas definisi tersebut, BLU diberikan fleksibilitas dalam melaksanakan pola pengelolaan keuangannya. Pola pengelolaan ini disebut dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU). Fleksibilitas tersebut memberikan kewenangan kepada BLU untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat dengan menerapkan pengecualian-pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan pemerintah pada umumnya, misalnya pendapatan yang bisa langsung digunakan untuk belanja BLU tanpa melalui pengesahan oleh BUN/BUD (Bendahara Umum Daerah) dan melaksanakan investasi jangka pendek. Kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada BLU (seperti pengelolaan pendapatan, pengelolaan kas, investasi dan penentuan standar biaya pelayanan) membuat BLU memiliki posisi ganda yakni sebagai entitas pelaporan maupun entitas akuntansi terkait pelaporan keuangannnya. Sebagai entitas pelaporan, BLU wajib memberikan pelaporan yang menyeluruh atas penggunaan seluruh sumber daya yang dikuasai kepada pihak pihak yang berkepentingan, terutama pihak eksternal seperi donatur, auditor eksternal dan lembaga legislatif. Sedangkan sebagai entitas akuntansi BLU menyusun laporan keuangan yang akan dikonsolidasikan dengan entitas akuntansi yang membawahinya. Dalam PP nomor 25 dijelaskan bahwa akuntansi dan laporan keuangan BLU secara umum harus diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang diterbitkan oleh asosiasi profesi akuntansi Indonesia, dengan pengecualian jika tidak terdapat standar akuntansi dimaksud, BLU dapat menyusun standar akuntansinya sendiri dengan mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum. Untuk tujuan konsolidasi laporan keuangan kepada entitas akuntansi yang membawahinya, digunakan standar akuntansi yang sesuai dengan entitas akuntansi tersebut. Karena merupakan satker di lingkungan pemerintah, dengan kata lain untuk tujuan konsolidasi digunakan standar akuntansi pemerintah. Pada dasarnya, semangat yang mendasari digunakannya standar akuntansi keuangan dalam penyusunan laporan keuangan BLU adalah karena basis akuntansi yang digunakan yakni basis akrual memfasilitasi BLU untuk menyajikan laporan keuangan menjadi lebih reliable dibandingkan dengan hanya menggunakan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Contoh utamanya adalah produk laporan keuangan itu sendiri. Sebagaimana dijelaskan dalam PMK Nomor 76/PMK.05/2008, SAP berbasis CTA (Cash Toward Accrual ) hanya menghasilkan Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca dimana Standar Akutansi Keuangan (SAK) menghasilkan laporan keuangan yang lebih lengkap yaitu Laporan Aktivitas/Operasi, Laporan Arus Kas, Laporan Realisasi Anggaran dan Catatan atas Laporan Keuangan. Artikel Selanjutnya mengenai Penerapan Akuntansi di Badan Layanan Umum. Artikel yang terkait bisa dilihat pada web kami : mari diklik :) Selengkapnya silahkan Hubungi tim BLUD HP Konsultan BLUD : +62 813-6290-0800 Telp Kantor               : (+62) 274 488 599

Pola Pengelolaan Keuangan BLUD

BLUD sebagai SKPD atau Unit Kerja SKPD memiliki tujuan untuk memberikan pelayanan umum secara efektif dan efisien sejalan dengan praktik bisnis yang sehat. Dalam rangka untuk mencapai hal tersebut BLUD diberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangannya yang kemudian disebut sebagai Pola Pengelolaan Keuangan BLUD atau yang biasa disingkat PPK-BLUD. PPK-BLUD adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan Permendagri No.  61 tahun 2007, penerapan PPK-BLUD pada SKPD atau Unit Kerja harus memenuhi persyaratan antara lain: Persyaratan substantif berhubungan dengan (a) penyediaan barang dan/ atau jasa seperti rumah sakit daerah, puskesmas, laboratorium, sekolah; (b) pengelolaan wilayah/kawasan tertentu seperti kawasan pengembangan ekonomi terpadu; (c) pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/ atau pelayanan kepada masyarakat seperti pengelolaan dana bergulir, pengelolaan dana perumahan. Persyaratan teknis, apabila SKPD atau Unit Kerja memiliki kinerja pelayanan di bidang tugas dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLUD serta kinerja keuangan yang sehat. Persyaratan Adminstratif, apabila SKPD atau Unit Kerja menyampaikan dokumen yang meliputi (a) surat pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat; (b) pola tata kelola; (c) rencana strategis bisnis; (d) standar pelayanan minimal; (e) laporan keuangan pokok atau prognosa/ proyeksi laporan keuangan; (f) laporan audit terakhir atau persyaratan bersedia untuk diaudit secara independen. Dari ketiga persyaratan diatas persyaratan administratif sangat menentukan dapat atau tidaknya SKPD atau Unit Kerja menerapkan PPK-BLUD karena dokumen administratif tersebut akan dinilai oleh tim penilai yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. Tim penilai terdiri dari (1) Sekretaris Daerah, (2) Pejabat Pengelolaan Keuangan (PPKD), (3) Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, (4) Inspektorat Daerah, dan (5) Tenaga Ahli. Kemudian tim penilai akan mengeluarkan rekomendasi kepada Kepala Daerah berisi layak atau tidaknya SKPD atau Unit Kerja untuk menerapkan PPK-BLUD. Silahkan download pedoman teknis PPK-BLUD disini

Jumlah Viewers: 166