Artikel BLUD.id

Pemotongan Pajak Penghasilan (Pph) Pasal 23

Pemotongan Pajak Penghasilan (Pph) Pasal 23 atau PPh Pasal 23 adalah cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan oleh bendahara kepada pihak lain. Penghasilan yang dibayarkan tersebut antara lain : Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, royalti, hadiah/penghargaan. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan dan jasa lain. Jasa lain yang dimaksud yaitu yang menjadi objek pemotongan pajak penghasilan Pasal 23. Adapun jasa yang termasuk dalam Pph antara lain, Jasa: Penilai (appraisal); Aktuaris; Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan; Perancang (design); Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara; Penebangan hutan; Pengolahan limbah; Penyedia tenaga kerja (outsourcing services) Perantara dan/atau keagenan; Kustodian/penyimpanan/penitipan,kecuali yang dilakukan oleh KSEI; Sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan; Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; Perawatan/perbaikan/ pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/ kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; Maklon; Penyelenggara kegiatan atau event organizer; Pengepakan; Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi; Pembasmian hama; Kebersihan atau cleaning service; Catering atau tata boga.   Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 adalah: Pasal 23 Undang-Undang PPh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008

Prinsip Teaching Factory SMK

Prinsip Teaching Factory SMK. Pembelajaran teaching factory adalah model pembelajaran di SMK yang berbasis produksi atau jasa yang mengacu pada standar dan prosedur yang berlaku di industri. Selain itu, model pembelajaran juga dilaksanakan dalam suasana seperti yang terjadi di industri. Dalam menjalankan model tersebut, tentunya SMK juga harus menerapkan prinsip teaching factory. Adapun Prinsip Teaching Factory di SMK, antara lain : Perangkat pembelajaran dirancang berbasis produk/jasa sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Siswa terlibat sepenuhnya secara langsung dalam proses pembelajaran berbasis produksi. Hal ini dimaksudkan agar kompetensi siswa terbangun melalui pengalaman pribadi dalam membuat, mengerjakan dan atau menyelesaikan produk/jasa berdasarkan standar. Selain itu, siswa juga diharapkan mampu mengetahui dan menerapkan aturan dan norma-norma kerja di DUDI. Sesuai dengan tingkatannya, perangkat pembelajaran dirancang dengan berorientasi pada pembuatan produk/jasa sesuai faktor psikologi peserta didiknya (CBT – PBT). Hal ini dimaksudkan agar dapat meningkatkan kompetensi, meningkatkan kesiapan kerja dan membangung karakter kerja serta peserta didik sesuai kebutuhan DUDI. Sertifikasi kompetensi siswa dapat atau dimungkinkan dirterbitkan disetiap tingkatan kompetensinya sesuai dengan produk/jasa yang telah diselesaikan. Fungsi dan keberadaan semua sumber daya sekolah dari fasilitas, tenaga pengajar, staff, bahan dan tatakelola dikondisikan/difungsikan untuk membangun lingkungan dan suasana DUDI atau tempat kerja/usaha yang sebenarnya. Pelaksanaan kegiatan produksi atau layanan jasa bersifat nirlaba/non-profit karena merupakan bagian dari proses pembelajaran TeFa yang dilakukan oleh siswa. Pemanfaatan produk/jasa pembelajaran berbasis TeFa dilakukan sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku.

Latar Belakang TEFA di SMK

Latar belakang mengapa SMK menerapkan tefa berasal dari beberapa permasalahan.  Latar belakang Tefa di SMK, salah satunya karena adanya asset SMK yang belum digunakan secara maksimal. Selain itu, banyaknya media belajar atau produk yang terpaksa menumpuk digudang (dibuang begitu saja) dan beberapa SMK mempunyai pengalaman permasalahan audit dan hukum. Hal ini mampu membuat banyak SMK yang menerapkan system paling aman yaitu dengan tidak menerapkan TEFA Tefa menurut pp no 41/2015 adalah sarana produksi yang dioperasikan berdasarkan prosedur dan standar bekerja yang sesungguhnya untuk menghasilkan produk sesuai dengan kondisi nyata di dunia industry dan tidak berorientasi mencari keuntungan. Sedangkan, Tefa menurut permendikbut no 34/2018 adalah model pembelajaran yang bernuansa industry melalui sinergi SMK/MAK dengan dunia industry untuk menghasilkan lulusan yang kompeten sesuai dengan kebutuhan pasar. Beberapa bentuk penerapan tefa di SMK diantaranya  penempatan siswa di industry melalui program kerja lapangan. Disamping itu, industry juga dapat mengembangkan proses produksi di SMK dengan system kurikulum berbasis industry. Dasar hukum dalam penerapat TEFA di SMK terdapat dalam instruksi Presiden No. 09 Tahun 2016.  Pada tahun 2018 mendikbud telah mendorong smk untuk menerapkan BLUD. Mengapa SMKN di wajibkan menerapkan BLUD? Karena BLUD merupakan langkah strategis dalam rangka memberikan payung hukum kepada SMK agar dapat menjalankan unit produksi, tefa, dan usaha usaha lainnya yang selama ini menjadi sarana meningkatkan kompetensi siswa secara realistis. BLUD menjadi strategi alternative untuk memayungi secara hukum kegiatan tefa yang diterapkan oleh smk. Ada payung hukum yang jelas dan pelaksanaan yang jelas, jadi tidak perlu khawatir lagi terhadap penerapan BLUD SMK. BLUD yang di terapkan SMK bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat memalui peningkatan kompetensi siswanya. Dalam penerapan BLUD perlu adanya persiapan dan komitmen dari pihak pihak terkait khususnya pemerintah daerah. Tefa yang utama adalah meningkatkan kompetensi siswa dan guru.  PenerapanTEFA juga perlu memperhatikan peningkatan kompetensi siswa.  Oleh karena itu, pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing lulusannya

TEACHING FACTORY DI SMK

Teaching factory (TEFA) di SMK, salah satunya bertujuan untuk meningkatkan kompetensi siswa. Peningkatan kompetensi didapatkan dengan jalan mengikutsertakan siswa dalam kegiatan teaching factory. Salah satunya dengan menerapkan sekolah berbasis produksi dimana para siswa diharuskan menghasilkan sebuah produk yang memiliki nilai jual. Desain produk yang akan dihasilkan akan dibuat oleh guru berdasarkan pesanan dari konsumen ataupun berupa produk massal.  Selanjutnya, produk tersebut akan dipasarkan oleh tim pemasaran yang ada di sekolah. Oleh karena itu, teaching factory di SMK sangat bagus diterapkan untuk para siswa. Siswa  juga akan dituntut untuk selalu menghasilkan barang yang memenuhi kriteria standar tertentu pada saat praktik. Jika siswa belum berhasil memenuhi standar yang telah ditetapkan, siswa diharuskan untuk mengganti barang yang dibuat diluar jam pelajaran. Pada saat praktik, prinsip yang diterapkan ialah 1 siswa 1 mesin. Setiap 5 orang siswa akan disupervisi oleh 1 orang instruktur. Dengan demikian kegiatan praktik yang dilakukan dapat berjalan dengan optimal untuk meningkatkan ketrampilan siswa. Selain untuk meningkatkan kompetensi siswa, teaching factory juga bertujuan untuk meningkatkan jiwa kewirausahaan siswa. Lulusan SMK perlu untuk dibekali dengan kemampuan berwirausaha karena tidak semua lulusan SMK dapat terserap oleh industry. Disisi lain, peningkatan jumlah lulusan yang dihasilkan dengan ketersediaan lapangan kerja juga masih belum berimbang. Kegiatan teaching factory juga dapat berkontribusi terhadap peningkatan jiwa kewirausahaan siswa, jika kegiatan yang dilakukan sesuai dengan kompetensi yang dipelajari. Selain itu, kegiatan yang dilakukan juga akan lebih berkontribusi positif jika melibatkan siswa mulai dari proses perencanaan, produksi, sampai dengan pemasaran. Pelibatan siswa mulai dari proses perencanaan, produksi, sampai dengan pemasaran diperlukan untuk memberikan pengalaman secara langsung kepada siswa dalam berwirausaha.

Perbedaan UPTD dan BLUD

Perbedaan UPTD dan BLUD akan dijelaskan dalam artikel kali ini.  Banyak dari kita yang masih beranggapakan bahwa kedua hal ini merupakan suatu hal yang sama. Akan tetapi, pada kenyataannya UPTD dan BLUD merupakan dua hal yang berbeda. Nah, apa saja Perbedaaan UPTD dan BLUD  ? Silahkan baca penjelasan dibawah ini Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) adalah unsur pelaksana teknis operasional dinas dilapangan yang dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas. UPTD mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas teknis operasional dinas dilapangan. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Badan Layanan Umum Daerah atau disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. BLUD   mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan Pengelolaan Keuangan Daerah pada umumnya. Apa Saja Perbedaan UPTD dan BLUD ? BLUD merupakan bagian dari perangkat pemerintah daerah, dengan status hukum tidak terpisah dari pemerintah daerah. Berbeda dengan SKPD pada umumnya, pola pengelolaan keuangan BLUD memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Salah satunya seperti pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. Oleh karena itu,  sebuah satuan kerja atau unit kerja dapat ditingkatkan statusnya sebagai BLUD. Contoh dari SKPD dengan status BLUD adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Unit kerja seperti puskesmas atau tempat rekreasi tidak tertutup kemungkinan ditingkatkan statusnya sebagai BLUD.   [wpdm_package id='13730']  

FLEKSIBILITAS DALAM BLU/BLUD PART 1

    Fleksibilitas dalam BLU/BLUD. Fleksibilitas  adalah keleluasaan dalam pola pengelolaan keuangan dengan menerapkan praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat umum tanpa mencari keuntungan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lalu, bagaimana fleksibilitas dalam BLU/BLUD ? Praktek bisnis yang sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka memberikan pelayanan yang bermutu, berkesinambungan dan berdaya saing. Dalam implementasinya, BLU dan BLUD diberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan yang diatur dalam peraturan kepala daerah setempat. Hal ini bertujuan untuk memudahkan implementasi kebijakan di daerah tersebut. Selain itu, fleksibilitas ini juga disesuaikan dengan kebutuhan serta karakteristik kondisi daerah. Berikut merupakan fleksibilitas BLU dan BLUD dalam penerapan pengelolaan keuangan yaitu : Pendapatan Fleksibilitas BLU dan BLUD terkait pendapatan (dikecualikan dari perundang-undangan) diatur dalam beberapa undang-undang. Pertama yaitu dalam Peraturan perundang-undangan yang berlaku umum yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (6). Kedua, Undang-undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 13 ayat (2); Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (3). Selanjutnya yaitu, Peraturan Pemerintah 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 57 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1). Terakhir yaitu, Permendagri 13/2006, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Permendagri 21/2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan daerah Pasal 127 ayat (1). Oleh karena itu, pendapatan BLU dan BLUD akan masuk ke rekening Kas BLU dan BLUD, dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya.  Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diakui sebagai pendapatan BLU dan BLUD, dan APBD merupakan kewajiban Pemerintah Daerah. Sedangkan pengelolaan pendapatan bila entitas sebagai satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau unit kerja maka pendapatan akan masuk ke rekening kas daerah. Sehingga, hal ini mengakibatkan uang tidak dapat digunakan langsung. Selain itu, pengakuan APBD bukan merupakan Pendapatan.

Jumlah Viewers: 698